Translate

Rabu, 08 Oktober 2014

Cinta Itu Sesederhana Bahagia



Bahagia itu sederhana. Layaknya menemukan selembar lima ribuan di kantong celana ketika tanggal tua. Atau layaknya ketika di pagi hari ada ucapan selamat pagi dari orang-orang tersayang di sekitar kita. Dan memang bahagia sesederhana itu.

Kuncinya cuma satu, kata Om Rene “Think less, feel more”. Banyak-banyak bersyukur. Lihat apa yang sudah kita miliki dan kita capai saat ini. Syukuri itu. Nah, coba lihat ke seisi kamar kalian, rumah kalian, dan lihatlah ke cermin. Begitu banyak rezeki dan nikmat yang kita lupa untuk sekedar berucap terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Coba sekali waktu di malam hari, di saat kebanyakan orang sedang beristirahat kamu mendengar suara spatula diadu dengan wajan penggorengan di luar. Seorang tukang nasi goring jam 10 malam masih menelusuri jalan menunggu pembeli yang tak pasti. Sedangkan kita di jam-jam segitu mungkin sedang adu galau di social media.

Semua dapat menjadi alasan untuk kita agar berbahagia. Bahkan hal sesederhana seperti, “pejamkn matamu sejenak, tarik nafas 8 hitungan, tahan nafasmu 8 hitungan, dan hembuskan pula 8 hitungan.”
Itu bisa membuatmu jauuuh lebih plong. Lebih lepas lebih bahagia. Tak harus menunggu momen tetentu kan ya kita boleh bahagia? Ada begitu banyak nikmat Allah yang bisa kita jadikan pemicu untuk berbahagia setiap hari. Nikmat Allah itu tak terhingga. Sudah Allah sebutkan dengan terang benderang dalam QS.An-Nahl :18 )

Karena idealnya, bukanlah bahagia yang membuat kita bersyukur,namun merasa bersyukurlah yang memberikan kita kebahagiaan.

Begitu pun cinta, cinta itu sederhana bahagia. Kita tak pernah tahu cinta kan mengetuk dari pintu yang mana. Itulah kenapa banyak orang yang memakai kata jatuh untuk cinta. Itu karena kita hanya jatuh tanpa bisa mengelak. Dan gravitasi tak bertanggung jawab untuk setiap hati yang terjatuh karena cinta. Walaupun pada akhirnya kita harus membangun cinta

Ada satu kisah menarik mengenai bagaimana cinta bisa dating kapan saja. Sederhana, sesederhana bahagia. Sebuah kisah tentang garam dalam kopi.
Dalam sebuah acara training, ada seorang wanita cantik yang menjadi peserta training. Ketika tiba saat makan siang, wanita tersebut makan sendirian karena memang dia dating ke training itu sendirian. Dan dalam training juga ada seorang pria dengan kemeja pendek kotak-kotak, celana kain hitam, dan sepatu yang tidak terlalu mengkilat juga kebetulan dating sendiri menjadi peserta training tersebut.

Pria tersebut melihat sang wanita sedang menikmati makan siangnya serta-merta menghampiri dan berbasa-basi. Tentu si wanita cukup terkejut, karena dari banyaknya peserta training yang jauh lebih menarik hanya dia satu-satunya laki-laki yang mau mendekatinya. Setelah berbasa-basi kesana kemari, laki-laki tersebut dengan sangat sopan meminta izin untuk mengajak wanita tersebut sekedar minum kopi di sebuah gerai kopi franchise di dekat venue tempat berlangsungnya training. Karena sang laki-laki memintanya dengan penuh penghormatan, akhirnya sang wanita menyetujui ajakannya.

“Terima kasih Dhira,”ujar si laki-laki.

“Sampai ketemu nanti Zul…,”ujar sang wanita.

Tak terasa, waktu begitu perkasa menunjukkan dominasinya, hingga akhirnya acara training pada hari itu menemui penghujungnya. Dan selanjutnya gerai kopi dan sofa-sofanya lah yang bergiliran melanjutkan cerita antara Dhira dan Izul.

Malam itu Dhira memesan segelas cokelat hangat dan Izul memesan secangkir kopi hitam. Tetapi angin tiba-tiba berubah haluan. Keadaan menjadi kaku. Izul seakan kehilangan nyalinya seketika. Ia tak tahu entah apa yang ingin dia bicarakan malam itu. Lidah Izul kelu. Entah ada korsleting di saraf otak ataupun lidahnya. 
Mungkin malam itu suara detak jarum jam dinding terdengar lebih cerewet daripada mereka berdua.

“Izul,sepertinya waktu sudah semakin malam, bagaimana kalau kita pulang?”

Izul bertambah kaget dan panik, ia tak menyangka moment ini akan ia lalui begitu saja. Ia masih ingin bersama Dhira walau sesaat. Izul harus memutar otaknya untuk menemukan topic pembicaraan yang menarik sebelum Dhira betul-betul pulang. Tiba –tiba waiter melintas di dekat meja mereka.

“Mas, maaf boleh minta tolong ambilkan garam?”Pinta Izul.
Dhira sedikit bingung,karena sedari tadi mereka tidak memesan makanan apapun. Untuk apa garam itu? Pikirnya.

Tak berapa lama waiter itu dating kembali dan memberikan garam yang Izul pinta. Dan Izul menambahkan garam tersebut pada kopinya. Dan dia langsung meminum kopi tersebut sampai habis. Dhira pun bengong dan bertambah bingung.

“Kebiasaanmu aneh. Sejak kapan kamu suka minum kopi campur garam itu,Zul?”Selidik Dhira.

“Ra,aku lahir dan dibesarkan di daerah pesisir. Sejak kecil aku dan kakak-kakaku paling suka berlarian di pantai dan mandi di laut. Kami benar-benar menikmati masa-masa tersebut. Kadang kami balapan lari, kadang kami bercanda hingga air laut yang asin itu tak sengaja tertelan. Sekarang aku sudah jauh dari kampong halamanku. Urusan pekerjaan membuatku jarang pulang. Jadi kopi rasa asin ini sedikit banyak mengobati kerinduanku akan kampong halaman, “jelas Izul terbata-bata karena kegugupannya.

Tanpa sadar mata Dhira berkaca-kaca. Ia sangat tersentuh akan pengakuan jujur Izul. Dalam lubuk hatinya ia juga merasakan perasaan yang sama dengan Izul. Ia juga sangat merindukan kampong halamannya tercinta. Dan ia berpikir laki-laki yang begitu kuat menyimpan kenangan akan kampong halamannya pasti ia begitu mencinta tanah kelahirannya. Ia setia, peduli, dan mempunyai tanggung jawab yang begitu besar.

Kemudian Dhira juga menceritakan tentang kampong halamannya dan kerinduannya. Suasana seketika menjadi cair dan begitu hangat. Seakan masing-masing sudah menemukan kecocokan dan rasa nyama. Tanpa sadar mereka saling bertukar cerita hingga larut malam.

Tak lama setelahnya, akhirnya Izul melamar Dhira. Dan mereka resmi menjadi sepasang suami istri. Dhira merasa sangat beruntung mempunyai suami layaknya Izul yang sangat hangat,perhatian, dan penuh kasih sayang. Dia begitu bersyukur malam itu ia mengiyakan ajakan minum kopi dari Izul. Jika tidak, mungkin ia tidak akan mempunyai keluarga yang begitu ideal di mata dan hatinya sekarang.

Dan setiap pagi selama bertahun-tahun Dhira tak pernah lupa untuk menyediakan kopi asin kesukaan Izul. Dhira mengerti betul kopi asin tersebut yang dapat mengobati kerinduan suaminya akan kampong halamannya. Keluarga yang mereka bangun menjadi keluarga yang harmonis dan bahagia.

Waktu bergulir begitu cepat. Seakan terbang tanpa memedulikan manusia yang masih tertatih mengejarnya. Sudah 50 tahun rumah tangga yang mereka bangun. Dan kesehatan Izul mulai memburuk. Tak lama kemudian ia meninggal dengan tenang. Dhira begitu terpukul akan kejadian ini. Dia merasa belahan jiwanya telah pergi meninggalkannya.

Dihari pemakaman Izul,seorang sahabat dating kepada Dhira dan mengangsurkan sebuah surat. Sebuah surat yang sudah dipersiapkan Izul untuk disampaikan ke Dhira setelah ia meninggal. Surat itu sudah Izul tulis jauh-jauh hari sebelum malaikat maut menjemputnya. Banyak sekali bekas-bekas titik air yang telah mongering di kertas tersebut.

Untuk belahan jiwaku Dhira,
Sayangku, tahukah engkau betapa beruntungnya aku memilikimu? Betapa girangnya aku saat pertama kali aku melihatmu dan kemudian aku berhasil mengajakmu pergi? Sampai saat aku sekarat ini aku masih dapat mengingat dengan jelas setiap detail saat itu. Baju merah maroonmu, kerudungmu yang begitu serasi melengkapinya,sampai sepatu ungu yang kau pakai. Tetapi sungguh, senyummulah yang akhirnya membuatku dating untuk mengajakmu pergi malamnya.
            Lalu saat kita bersanding di pelaminan,itu adalah saat terindah untukku. Saat bahagia bersamamu. Dengan aku menemukan arti cinta dan kebahagiaan. Dan denganmu kita sudah sepakat tentang hubungan yang berlandaskan kepercayaan dan kejujuran sayangku.
            Itulah kenapa aku menulis surat ini dengan penuh kesedihan dan rasa penyesalan. Aku telah melakukan kebohongan besar kepadamu.
            Ini tentang kopi asin yang selalu engkau sajikan untukku selama 50 tahun sayang. Kopi asin yang selalu aku minum setiap pagiku. Ingatkah kau saat aku pertama kali minta waiter di cafĂ© untuk mengambilkanku garam? Sebenarnya bukan itu yang aku pinta. Aku ingin meminta gula untuk kopiku. Hanya satu alasanku, aku ingin bersamamu lebih lama. Aku ingin melewatkan malam itu lebih lama denganmu. Dan saking gugupnya aku, aku justru meminta garam untuk kopiku.
            Dan aku tak pernah menyangka, justru garam itu yang akan menjadi tali penghubung antara hati kita. Dari situ kita bisa saling mengenal untuk kemudian saling menicintai.
            Sayangku, aku sama sekali tak menyukai kopi asin. Rasanya begitu aneh di lidah dan tenggorokan. Namun karena kita sudah berjanji untuk membangun hubungan ini atas dasar kepercayaan dan kejujuran, sampai aku menulis surat ini kepadamu aku belum berani mengatakan kejujuran ini kepadamu.
Maafkan aku sayangku…
Tapi aku sama sekali tidak pernah menyesal untuk terus minum kopi asin itu sepanjang hidupku bersamamu. Karena kamulah alasanku untuk menikmatinya. Memilikimu menjadi istriku adalah kebahagiaan terbesarku. Andaipun Tuhan berbaik hati menyatukan kita di kehidupan selanjutnya aku akan dengan sangat senang meminum kembali kopi asin buatanmu. Aku mau melakukannya lagi dan lagi.

Untukmu….
Salam cinta sehangat bahagia
Izul
Desakan hangatnya air mata dari pelupuk mata sudah tidak bisa Dhira tahan lagi. Ia menangis sejadi-jadinya. Ia merasakan hangat di dadanya. Ia merasa beruntung dicintai oleh laki-laki yang tepat. Laki-laki yang mencintainya sepenuh hati tanpa syarat.

Dan ketika suatu hari ada kerabat yang bertanya, “Memang bagaimana sih rasanya kopi asin itu?”
Dhira selalu menjawab,”Rasanya seperti jatuh cinta.”

Cinta dan bahagia memang sering bermula dari hal kecil yang tak kita duga. Sekali lagi, cinta dan bahagia bisa dating dari pintu mana saja. Pastikan saja hati kita siap menerimanya jika saat itu akhirnya tiba.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar